Kami Panitia Renovasi Masjid Jami Al Barokah menerima dan menyalurkan infak sodhakoh jariyah, kirimkan infak sodhakoh jariyah ke rekening kami atau dapat langsung diantar ke Masjid Jami Al Barokah Jl. Warakas V Gang 6 No.87 RT. 008/RW. 09 Kel.Warakas, teriring ucapan “jaza kallah ahsanal jaza” semoga infak sodhakoh jariyah dapat menjadi berkah dan semoga Allah SWT akan melipat gandakan-NYA. Amien~~~ ....Bpk Mahir 06/10/2012 Warakas V Gg.6/96*Besi 40 btg ....Hamba Allah 12/10/2012 Warakas V Gg.6/70*Pasir 1 colt ....Hamba Allah 13/10/2012 Warakas V Gg.6/70*semen 3 sak ....1 Hamba Allah *30 September 2012* Rp500.000 ....2 Hamba Allah *30 September 2012* Rp250.000 ....3 Hamba Allah *30 September 2012* Rp250.000 ....4 Ibu Rojilah *30 September 2012* Rp20.000 ....5 Hamba Allah *30 September 2012* Rp200.000 ....6 Hamba Allah *06 Oktober 2012* Rp100.000 ....7 Hamba Allah *06 Oktober 2012* Rp100.000 ....8 Ibu Rojilah *06 Oktober 2012* Rp20.000 ....9 Hamba Allah *06 Oktober 2012* Rp200.000 ....10 Hamba Allah *06 Oktober 2012* Rp100.000 ....11 Ibu Sumiyati *06 Oktober 2012* Rp100.000 ....12 Ibu Ropinah *06 Oktober 2012* Rp150.000 ....13 Hamba Allah *06 Oktober 2012* Rp50.000 ....14 Hamba Allah *06 Oktober 2012* Rp20.000 ....15 Hamba Allah *06 Oktober 2012* Rp150.000 ....16 Kel.Alm Dani bin Hafid *06 Oktober 2012* Rp30.000 ....17 Rajali Bin Lahat *06 Oktober 2012* Rp200.000 ....18 Hamba Allah *06 Oktober 2012* Rp200.000 ....19 Hamba Allah *06 Oktober 2012* Rp200.000 ....20 H.Milujami *06 Oktober 2012* Rp300.000 ....21 Hj. Rohainah *06 Oktober 2012* Rp1.000.000 ....22 Ibu Yani *06 Oktober 2012* Rp100.000 ....23 Kel. Alm Pa Ampe *06 Oktober 2012* Rp500.000 ....24 H. Dulhadi *07 Oktober 2012* Rp200.000 ....25 Hamba Allah *07 Oktober 2012* Rp50.000 ....26 Bpk. Wawan Ruswandi *07 Oktober 2012* Rp500.000 ....27 H. Edi Junaedi *07 Oktober 2012* Rp300.000 ....28 H. Waridi gg V/77 *07 Oktober 2012* Rp150.000 ....29 Hamba Allah *07 Oktober 2012* Rp500.000 ....30 Hamba Allah gg 7 *07 Oktober 2012* Rp1.000.000 ....31 A.Haris bin Kamaludin *07 Oktober 2012* Rp1.000.000 ....32 Said *07 Oktober 2012* Rp200.000 ....33 Hamba Allah *07 Oktober 2012* Rp60.000 ....34 Yuningsih *07 Oktober 2012* Rp50.000 ....35 Bpk.Irma *07 Oktober 2012* Rp200.000 ....36 Zulkifli *07 Oktober 2012* Rp200.000 ....37 Hamba Allah *08 Oktober 2012* Rp200.000 ....38 Khosyi Hukama *09 Oktober 2012* Rp200.000 ....39 Hamba Allah *10 Oktober 2012* Rp200.000 ....40 Hamba Allah *10 Oktober 2012* Rp100.000 ....41 Hamba Allah *12 Oktober 2012* Rp60.000 ....42 Rahayu Yosep *12 Oktober 2012* Rp300.000 ....43 Hamba Allah *09 Oktober 2012* Rp1.000.000 ....44 Hamba Allah *09 Oktober 2012* Rp150.000 ....45 Hamba Allah *09 Oktober 2012* Rp1.000.000 ....46 Hamba Allah *09 Oktober 2012* Rp200.000 ....47 Hamba Allah *09 Oktober 2012* Rp150.000 ....48 Hamba Allah *09 Oktober 2012* Rp500.000 ....49 Ibu Nur Aini *09 Oktober 2012* Rp500.000 ....50 Hamba Allah *09 Oktober 2012* Rp200.000 ....51 Hamba Allah *09 Oktober 2012* Rp50.000 ....52 Hamba Allah *09 Oktober 2012* Rp150.000 ....53 Hamba Allah *09 Oktober 2012* Rp150.000 ....54 Hamba Allah *09 Oktober 2012* Rp50.000 ....55 Hamba Allah *09 Oktober 2012* Rp500.000

Minggu, 27 Desember 2009

Puasa ‘Asyura, Tahun Baru Hijriah dan Muhasabah

Segala puji bagi Allah pemelihara seluruh alam, shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi dan Rasul mulia, Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya. Wa ba’du.
Di antara nikmat Allah Ta’ala yang diberikan atas hamba-hamba-Nya, adalah perguliran musim-musim kebaikan yang datang silih berganti, mengikuti gerak perputaran hari dan bulan. Supaya Allah Ta’ala mencukupkan ganjaran atas amal-amal mereka, serta menambahkan limpahan karunia-Nya.


Dan tidaklah musim haji yang diberkahi itu berlalu, melainkan datang sesudahnya bulan yang mulia, yaitu bulan muharam. Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab shahihnya dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أفضل الصيام بعد شهر رمضان شهر الله الذي تدعونه المحرم، وأفضل الصلاة بعد الفريضة قيام الليل . رواه مسلم في صحيحه

“Puasa yang paling utama setelah puasa bulan ramadhan adalah puasa pada bulan Allah yang kalian sebut bulan muharam, dan sholat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.“ (HR.Muslim)

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menamai bulan muharam dengan bulan Allah, ini menunjukan akan kemuliaan dan keutamaannya. Sesungguhnya Allah Ta’ala mengkhususkan sebagian makhluk-Nya terhadap sebagian yang lainnya, serta mengutamakannya dari sebagian yang lainnya.

Hasan al-Bashri rahimahullahu Ta’ala berkata, “Sesungguhnya Allah Ta’ala membuka tahun dengan bulan haram dan mengakhirinya dengan bulan haram, dan tidak ada bulan dalam setahun yang lebih mulia disisi Allah melebihi bulan ramadhan, karena sangat haramnya bulan tersebut.“

Di bulan muharam ada satu hari yang pada hari itu terjadi peristiwa besar serta kemenangan yang gemilang. Saat di mana kebenaran menang atas kebatilan, yaitu ketika Allah Ta’ala menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihis sholatu was salaam beserta kaumnya, dan menenggelamkan fir’aun beserta bala tentaranya. Ia adalah hari yang memiliki keutamaan yang agung dan kehormatan sejak dahulu. Ketahuilah, hari itu adalah hari yang kesepuluh dari bulan muharam, yang biasa disebut hari ‘Asyura.

Keutamaan Hari Asyura dan Berpuasa Pada Hari Itu

Banyak hadits-hadits shahih yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai keutamaan hari ‘asyura serta anjuran berpuasa pada hari tersebut, kami akan sebutkan beberapa contoh, di antaranya sebagai berikut:

في الصحيحين عن ابن عباس – رضي الله عنه – أنه سئل عن يوم عاشوراء فقال: ” ما رأيت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يوماً يتحرى فضله على الأيام إلا هذا اليوم – يعني يوم عاشوراء – وهذا الشهر يعني رمضان “.

Dalam shahihain, dari Ibnu Abas radiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau pernah ditanya tentang hari ‘Asyura, maka beliau menjawab: Aku tidak pernah melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam begitu menjaga keutamaan satu hari diatas hari-hari lainnya, melebihi hari ini (maksudnya, hari ‘asyura) dan bulan yang ini (maksudnya, bulan ramadhan).

Sebagaimana telah kami sebutkan di atas, bahwa hari ‘asyura memiliki keutamaan yang agung serta kehormatan sejak dahulu. Nabi Musa ‘alaihis sholatu was salaam berpuasa pada hari itu dikarenakan keutamaannya. Bahkan Ahlul Kitabpun melakukan puasa pada hari itu, demikian pula kaum Quraisy pada masa jahiliyah mereka berpuasa padanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala berada di Makkah, beliau berpuasa pada hari ‘asyura, namun tidak memerintahkan manusia. Ketika tiba di Madinah kemudian menyaksikan Ahlul kitab berpuasa serta memuliakan hari tersebut, dan beliau senang untuk mengikuti mereka terhadap apa-apa yang tidak diperintahkan dengannya, maka beliaupun berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa. Setelah itu beliau pertegas perintah tersebut, serta memberi anjuran dan dorongan atasnya, hingga anak-anakpun diajak ikut berpuasa. Diriwayatkan dalam shahihain, dari Ibnu Abas radiyallahu ‘anhuma berkata,

” قدم رسول الله – صلى الله عليه وسلم – المدينة فوجد اليهود صياماً يوم عاشوراء، فقال لهم رسول الله – صلى الله عليه وسلم -:{ ما هذا اليوم الذي تصومونه } قالوا: ( هذا يوم عظيم أنجى الله فيه موسى وقومه، وأغرق فرعون وقومه، فصامه موسى شكراً لله فنحن نصومه)، فقال – صلى الله عليه وسلم -: { فنحن أحق وأولى بموسى منكم } فصامه رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وأمر بصيامه “

Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, Beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘asyura. Maka Beliau bertanya kepada mereka, Hari apa ini hingga kalian berpuasa? Mereka menjawab: Ini adalah hari yang mulia di mana Allah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya, serta menenggelamkan fir’aun beserta bala tentaranya. Maka sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Allah, Nabi Musa berpuasa pada hari ini, dan kamipun ikut berpuasa. Beliau lalu bersabda, “Sungguh kami lebih berhak dan lebih utama (untuk mengikuti Musa) dari pada kalian.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berpuasa dan memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu.

Diriwayatkan pula dalam shahihain, dari Rubayya’ binti Mu’awwidz berkata,

” أرسل رسول الله – صلى الله عليه وسلم – غداة عاشوراء إلى قرى الأنصار التي حول المدينة: { من كان أصبح منكم صائماً فليتم صومه، ومن كان أصبح منكم مفطراً فليتم بقية يومه }. فكنا بعد ذلك نصوم ونصوّم صبياننا الصغار منهم، ونذهب إلى المسجد فنجعل لهم اللعبة من العهن، فإذا بكى أحدهم على الطعام أعطيناه إياها حتى يكون عند الإفطار “. وفي رواية: ” فإذا سألونا الطعام أعطيناهم اللعبة نلهيهم حتى يتموا صومهم “.

“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan pada pagi hari ‘asyura ke kampung-kampung kaum anshor di sekitar Madinah, dan berseru: Barang siapa yang berpuasa pada pagi ini, hendaklah menyempurnakan puasanya, dan barang siapa yang tidak berpuasa, hendaklah berpuasa pada sisa harinya. Maka kami berpuasa serta mengajak anak-anak untuk ikut berpuasa. Lalu kami beranjak menuju masjid dan membuatkan mereka mainan dari bulu, jika salah seorang dari mereka menangis minta makanan, kami berikan mainan tersebut agar mereka lalai hingga tiba waktu berbuka.” Dan dalam riwayat lain: Jika mereka minta makanan, kami berikan mainannya agar tidak memikirkan lagi untuk makan, hingga dapat menyempurnakan puasanya.

Namun tatkala puasa ramadhan telah diwajibkan, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan perintah atas para sahabatnya untuk puasa ‘asyura dan tidak lagi menegaskan perintahnya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam shahihain dari Ibnu Umar radiyallahu ‘anhuma berkata,

صام النبي – صلى الله عليه وسلم – عاشوراء وأمر بصيامه فلما فرض رمضان ترك ذلك – أي ترك أمرهم بذلك وبقي على الاستحباب

“Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan puasa ‘asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. Ketika puasa ramadhan diwajibkan, Rasulullah meninggalkan hal tersebut- yakni berhenti mewajibkan mereka mengerjakan dan hukumnya menjadi mustahab (sunah).”

Diriwayatkan pula dalam shahihain, dari Mu’awiyah radiyallahu ‘anhuma berkata,

سمعت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يقول: هذا يوم عاشوراء ولم يكتب الله عليكم صيامه وأنا صائم، فمن شاء فليصم ومن شاء فليفطر

“Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Hari ini adalah hari ‘asyura. Allah tidak mewajibkan atas kalian berpuasa padanya, tetapi Aku berpuasa, maka barang siapa yang ingin berpuasa, maka berpuasalah. Dan barang siapa yang ingin berbuka (tidak berpuasa) maka berbukalah. “

Hadits ini merupakan dalil akan dihapusnya kewajiban menunaikan puasa ‘asyura dan hukumnya menjadi sunah.

Di antara keutamaan bulan muharam, bahwa puasa pada hari ‘asyura dapat menghapus dosa-dosa setahun yang lalu. Imam Muslim meriwayatkan dalam shohihnya, dari Abu Qotadah,

أن رجلاً سأل النبي – صلى الله عليه وسلم – عن صيام يوم عاشوراء فقال: أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله

“Seorang laki-laki datang bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang pahala puasa hari ‘asyura. Maka Rasulullah menjawab: Aku berharap kepada Allah agar menghapus dosa-dosa setahun yang lalu.”

Saudara muslimku… saudari muslimahku:

Pada akhir hayatnya, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bertekad untuk tidak berpuasa pada hari ‘asyura saja, tetapi menambahkan dengan puasa sehari lagi, agar menyelisihi puasanya Ahli Kitab. Dalam shahih Muslim, dari Ibnu Abas radiyallahu ‘anhuma berkata:

” حين صام رسول الله – صلى الله عليه وسلم – عاشوراء وأمر بصيامه، قالوا: يا رسول الله إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى “، فقال – صلى الله عليه وسلم -: { فإذا كان العام المقبل إن شاء الله صمنا التاسع } [أي مع العاشر مخالفةً لأهل الكتاب] قال: ( فلم يأت العام المقبل حتى توفي رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ).

Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa ‘asyura dan menganjurkan para sahabatnya untuk berpuasa, mereka berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani, Maka beliau bersabda: Kalau begitu tahun depan Insya Allah kita akan berpuasa (pula) pada hari kesembilan (tasu’a). (yakni, bersamaan dengan puasa ‘asyura, untuk menyelisihi Ahli kitab). Ibnu Abas berkata: belum sampai tahun berikutnya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.

Ibnul Qoyyim rahimahullahu Ta’ala berkata dalam kitabnya, Zaadu al-Ma’aad (II/76):

” مراتب الصوم ثلاثة: أكملها أن يصام قبله يوم وبعده يوم، ويلي ذلك أن يصام التاسع والعاشر، وعليه أكثر الأحاديث، ويلي ذلك إفراد العاشر وحده بالصوم “.

والأحوط أن يصام التاسع والعاشر والحادي عشر حتى يدرك صيام يوم عاشوراء.

Tingkatan puasa pada bulan muharam ada tiga: Tingkatan paling sempurna, yaitu berpuasa pada hari ‘asyura ditambah puasa sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.[1] Tingkatan setelahnya, adalah berpuasa pada hari kesembilan (tasu’a) dan kesepuluh (’asyura), sebagai mana yang diterangkan dalam banyak hadits.[2] Kemudian tingkatan terakhir adalah berpuasa pada hari kesepuluh (’asyura) saja.

Namun untuk lebih berhati-hati, lebih utama berpuasa pada hari kesembilan, kesepuluh dan kesebelas, hingga bisa mendapatkan (keutamaan) puasa hari ‘asyura tersebut.


Beberapa Bid’ah dan Penyimpangan Yang Terjadi Pada Hari Ini

Ketauhuilah wahai saudaraku, sesungguhnya tidak disyariatkan bagimu melakukan suatu amal yang bukan berasal dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara penyimpangan yang dilakukan sebagian orang pada hari ‘asyura, adalah memakai celak mata, menyemir (jenggot atau rambut) dengan pohon inai, mandi, melapangkan kebutuhan keluarga dan orang-orang yang berada dalam tanggungannya, serta menyiapkan makanan khusus yang dihidangkan pada hari itu.[3] Seluruh perbuatan tersebut, pada hakekatnya hanya didasari oleh hadits-hadits maudhu’ (palsu) dan dhoif.

Adapula bid’ah lain yang banyak dilakukan orang-orang pada hari ‘asyura, diantaranya: mengkhususkan hari tersebut dengan doa tertentu, atau melakukan apa yang dikenal pada kalangan ahli bid’ah dengan nama ruqyah ‘asyura. Demikian juga perkara-perkara yang banyak dilakukan oleh firqoh rofidhoh (syiah) pada hari ‘asyura, yang sebenarnya sama sekali tidak ada asal tuntunan syariatnya. Termasuk dalam kemungkaran ini, menggelar acara peringatan Tahun Baru Hijriah, membagi-bagikan bingkisan dan bunga serta menjadikannya sebagai hari raya tahunan.

Tahun Baru dan Muhasabah

Seiring datangnya Tahun Baru Hijriah, sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk melakukan muhasabah dan introspeksi diri. Hal ini merupakan jalan menuju petunjuk dan keselamatan. Orang cerdik itu, adalah mereka yang selalu menimbang dirinya serta beramal untuk bekal perjalanan setelah meninggal. Dan orang yang berakal, adalah mereka yang membiasakan dirinya menapaki jalan kebaikan dan melazimkan dirinya dengan syariat.

Manusia itu tidak terlepas dari dua keadaan, jika ia seorang yang muhsin (yang banyak berbuat kebaikan), (dengan muhasabah) akan bertambah kebaikannya, adapun jika ia seorang yang banyak lalai, maka ia akan menyesal dan segera bertaubat. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan setiap diri memperkatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)…” (QS. Al-Hasyr: 18).

Ibnu katsir berkata tentang tafsir ayat ini, “Yaitu, hendaklah kalian menghitung-hitung diri kalian sebelum kalian dihisab (pada hari kiamat), dan perhatikan apa yang telah kalian persiapkan berupa amal kebaikan sebagai bekal kembali dan menghadap kepada Rabb kalian.”

Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah telah menerangkan metode dan cara yang tepat untuk muhasabah. Beliau berkata:

“Semua itu dimulai dengan muhasabah diri terhadap amalan-amalannya yang wajib, jika ia menemui kekurangan padanya, hendaklah berusaha menggantinya, baik dengan cara mengqodho atau dengan memperbaikinya. Selanjutnya muhasabah diri terhadap hal-hal yang dilarang, jika ia mendapatkan dirinya pernah terjerumus di dalamnya, hendaklah menyesalinya dengan bertaubat dan istigfar serta mengerjakan amal kebaikan sebagai penghapus dosa-dosa tersebut. Setelah itu muhasabah diri yang berkenaan dengan kelalaian yang pernah dibuat, jika selama ini ia lalai akan maksud dan tujuan penciptaannya, maka ia segera menutupinya dengan dzikir dan menghadapkan diri seutuhnya kepada Allah Ta’ala. ”

Wahai saudaraku seiman seiring terbitnya fajar tahun baru ini, segerakan taubat dan hadapkan diri sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Lembaran-lembaran yang ada dihadapanmu masih dalam keadaan putih bersih, tanpa goresan sedikitpun. Maka berhati-hatilah jangan sampai kalian nodai dengan maksiat dan dosa. Segeralah melakukan introspeksi diri sebelum kalian dihisab, perbanyak dzikir dan istigfar kepada Allah, dan pilihlah teman-teman shaleh yang selalu menunjukanmu jalan kebaikan. Semoga Allah menjadikan tahun ini sebagai tahun kebaikan bagi islam dan kaum muslimin. Dan semoga pula Allah memanjangkan umur kita dalam ketaatan, kebaikan dan jauh dari perbuatan maksiat, serta menjadikan kita sebagai pewaris surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai.

Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga serta para shahabatnya.


Oleh: Tim Daar al-qosim
Penerjemah: Abu Ahmad Fuad Hamzah Baraba’, Lc.

***

Catatan Tambahan dari Editor (Muhammad Abduh Tuasikal):

Yang lebih tepat dalam melakukan puasa ‘Asyura ada dua tingkatan yaitu:
Tingkatan yang lebih sempurna adalah berpuasa pada 9 dan 10 Muharram sekaligus.
Tingkatan di bawahnya adalah berpuasa pada 10 Muharram saja.[4]

Sebagian ulama berpendapat tentang dianjurkannya berpuasa pada hari ke-9, 10, dan 11 Muharram. Inilah yang dianggap sebagai tingkatan lain dalam melakukan puasa Asy Syura[5]. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً

“Puasalah pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram, pen) dan selisilah Yahudi. Puasalah pada hari sebelumnya atau hari sesudahnya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Khuzaimah, Ibnu ‘Adiy, Al Baihaqiy, Al Bazzar, Ath Thohawiy dan Al Hamidiy, namun sanadnya dho’if (lemah). Di dalam sanad tersebut terdapat Ibnu Abi Laila -yang nama aslinya Muhammad bin Abdur Rahman-, hafalannya dinilai jelek. Juga terdapat Daud bin ‘Ali. Dia tidak dikatakan tsiqoh kecuali oleh Ibnu Hibban. Beliau berkata, “Daud kadang yukhti’ (keliru).” Adz Dzahabiy mengatakan bahwa hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah (dalil).

Terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Abdur Rozaq, Ath Thohawiy dalam Ma’anil Atsar, dan juga Al Baihaqi, dari jalan Ibnu Juraij dari ‘Atho’ dari Ibnu Abbas. Beliau radhiyallahu ‘anhuma berkata,
خَالِفُوْا اليَهُوْدَ وَصُوْمُوْا التَّاسِعَ وَالعَاشِرَ

“Selisilah Yahudi. Puasalah pada hari kesembilan dan kesepuluh Muharram.” Sanad hadits ini adalah shohih, namun diriwayatkan secara mauquf (hanya dinilai sebagai perkataan sahabat).[6]

Catatan: Jika ragu dalam penentuan awal Muharram, maka boleh ditambahkan dengan berpuasa pada tanggal 11 Muharram. Imam Ahmad -rahimahullah- mengatakan, “Jika ragu mengenai penentuan awal Muharram, maka boleh berpuasa pada tiga hari (hari 9, 10, dan 11 Muharram, pen) untuk kehati-hatian.“[7]

Sumber dari artikel www.muslim.or.id
Dicopy dan disebarkan oleh : http://masjidkualbarokah.blogspot.com [must ris]


Selengkapnya...

Jumat, 27 November 2009

1001 OBOR DI SUWARGO [Sungai Bambu, Warakas & Papanggo] Pawai obor 1 Muharram 1431 H

1001 OBOR
Di SUWARGO
[Sungai Bambu, Warakas & Papanggo]

 PAWAI OBOR
 MALAM I MUHARRAM 1431 H.
 MELIBATKAN 22 MASJID DI WILAYAH SUNGAI BAMBU, WARAKAS & PAPANGGO


Tujuan :

 Memperkuat Ukhuwah Islamiah terutama jama’ah di wilayah “SUWARGO”[Sungai Bambu, Warakas & Papanggo]

 Memberikan pembelajaran untuk anak-anak dan remaja Masjid akan tahun baru Islam dan hari besar Islam lainnya.

 Syiar Islam.


Pelaksanaan :

 18 Desember 2009 / 1 Muharram 1431 H

 Pukul 19.30WIB, ba’da sholat Isya

 Start & Finish di Masjid Jami Al – Barokah

Rute 1001 obor di SUWARGO

 Masjid Jami Al - Barokah Jl. Warakas V ~Jl.Warakas Raya ~ Trio ~ Jl. Gadang ~ Segi Tiga ~ Jl. Warakas I ~ Gang 21 ~ Pasar Pelita ~ Masjid Jami Al - Barokah Jl. Warakas V

Partisipasi Masjid-Masjid di wilayah “SUWARGO”
 Mengirimkan kafilah [minimal 2 mobil & 20 motor]
 Menyediakan obor untuk kafilah masing-masing.
 Membuat papan nama kafilah [sterofoam, papan, digital printing atau spanduk].
 Konsumsi untuk peserta ditanggung masing-masing Masjid.
 Menunjuk koordinator lapangan untuk rantai koordinasi panitia.
 Mengikuti aturan yang sudah dibuat panitia.

Imformasi lebih lanjut :
 Masjid Jami Al–Barokah Telp : 021.32241981
 Must Ris : 083893146488
 Hari Laksono : 085888752789
 http://masjidkualbarokah.blogspot.com
 e-mail : jami.albarokah@gmail.com
 Facebook : Jami AlBarokah

 PENDAFTARAN PALING LAMBAT TANGGAL 10 DESEMBER 2009



Selengkapnya...

Kamis, 26 November 2009

Meraih Takwa Melalui Ibadah Qurban

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman.

Sebuah ayat yang menjadi pertanda disyari’atkannya ibadah qurban adalah firman Allah Ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (Qs. Al Kautsar: 2). Di antara tafsiran ayat ini adalah “berqurbanlah pada hari raya Idul Adha (yaumun nahr)”. Tafsiran ini diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu ‘Abbas, juga menjadi pendapat ‘Atho’, Mujahid dan jumhur (mayoritas) ulama.[1]

Penyembelihan qurban ketika hari raya Idul Adha disebut dengan al udh-hiyah, sesuai dengan waktu pelaksanaan ibadah tersebut.[2] Sehingga makna al udh-hiyyah menurut istilah syar’i adalah hewan yang disembelih dalam rangka mendekatkan diri pada Allah Ta’ala, dilaksanakan pada hari an nahr (Idul Adha) dengan syarat-syarat tertentu.[3]

Dari definisi ini, maka yang tidak termasuk dalam al udh-hiyyah adalah hewan yang disembelih bukan dalam rangka taqorrub pada Allah (seperti untuk dimakan, dijual, atau untuk menjamu tamu). Begitu pula yang tidak termasuk al udh-hiyyah adalah hewan yang disembelih di luar hari tasyriq walaupun dalam rangka taqarrub pada Allah. Begitu pula yang tidak termasuk al udh-hiyyah adalah hewan untuk aqiqah dan al hadyu yang disembelih di Mekkah.[4]

Catatan: Aqiqah adalah hewan yang disembelih dalam rangka mensyukuri nikmat kelahiran anak yang diberikan oleh Allah Ta’ala, baik anak laki-laki maupun perempuan. Sehingga aqiqah berbeda dengan al udh-hiyyah karena al udh-hiyyah dilaksanakan dalam rangka mensyukuri nikmat kehidupan, bukan syukur atas nikmat kelahiran si buah hati. Oleh karena itu, jika seorang anak dilahirkan ketika Idul Adha, lalu diadakan penyembelihan dalam rangka bersyukur atas nikmat kelahiran tersebut, maka sembelihan ini disebut dengan sembelihan aqiqah dan bukan al udh-hiyyah.[5]

Hikmah di Balik Menyembelih Qurban

Pertama: Bersyukur kepada Allah atas nikmat hayat (kehidupan) yang diberikan.

Kedua: Menghidupkan ajaran Nabi Ibrahim –khalilullah (kekasih Allah)- ‘alaihis salaam yang ketika itu Allah memerintahkan beliau untuk menyembelih anak tercintanya sebagai tebusan yaitu Ismail ‘alaihis salaam ketika hari an nahr (Idul Adha).

Ketiga: Agar setiap mukmin mengingat kesabaran Nabi Ibrahim dan Isma’il ‘alaihimas salaam, yang ini membuahkan ketaatan pada Allah dan kecintaan pada-Nya lebih dari diri sendiri dan anak. Pengorbanan seperti inilah yang menyebabkan lepasnya cobaan sehingga Isma’il pun berubah menjadi seekor domba. Jika setiap mukmin mengingat kisah ini, seharusnya mereka mencontoh dalam bersabar ketika melakukan ketaatan pada Allah dan seharusnya mereka mendahulukan kecintaan Allah dari hawa nafsu dan syahwatnya.[6]

Keempat: Ibadah qurban lebih baik daripada bersedekah dengan uang yang semisal dengan hewan qurban.[7]

Raihlah Ikhlas dan Takwa dari Sembelihan Qurban

Menyembelih qurban adalah suatu ibadah yang mulia dan bentuk pendekatan diri pada Allah, bahkan seringkali ibadah qurban digandengkan dengan ibadah shalat. Allah Ta’ala berfirman,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah.” (Qs. Al Kautsar: 2)

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, nusuk-ku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.” (Qs. Al An’am: 162). Di antara tafsiran an nusuk adalah sembelihan, sebagaimana pendapat Ibnu ‘Abbas, Sa’id bin Jubair, Mujahid dan Ibnu Qutaibah. Az Zajaj mengatakan bahwa bahwa makna an nusuk adalah segala sesuatu yang mendekatkan diri pada Allah ‘azza wa jalla, namun umumnya digunakan untuk sembelihan.[8]

Ketahuilah, yang ingin dicapai dari ibadah qurban adalah keikhlasan dan ketakwaan, dan bukan hanya daging atau darahnya. Allah Ta’ala berfirman,

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (Qs. Al Hajj: 37)

Ingatlah, bukanlah yang dimaksudkan hanyalah menyembelih saja dan yang Allah harap bukanlah daging dan darah qurban tersebut karena Allah tidaklah butuh pada segala sesuatu dan dialah yang pantas diagung-agungkan. Yang Allah harapkan dari qurban tersebut adalah keikhlasan, ihtisab (selalu mengharap-harap pahala dari-Nya) dan niat yang sholih. Oleh karena itu, Allah katakan (yang artinya), “ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapai ridho-Nya”. Inilah yang seharusnya menjadi motivasi ketika seseorang berqurban yaitu ikhlas, bukan riya’ atau berbangga dengan harta yang dimiliki, dan bukan pula menjalankannya karena sudah jadi rutinitas tahunan.[9]

Menyembelih Qurban Wajib ataukah Sunnah?

Menyembelih qurban adalah sesuatu yang disyari’atkan berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ (konsensus kaum muslimin).[10] Namun apakah menyembelih tersebut wajib ataukah sunnah? Di sini para ulama memiliki beda pendapat.

[Pendapat pertama] Diwajibkan bagi orang yang mampu

Yang berpendapat seperti ini adalah Abu Yusuf dalam salah satu pendapatnya, Rabi’ah, Al Laits bin Sa’ad, Al Awza’i, Ats Tsauri, dan Imam Malik dalam salah satu pendapatnya.

Di antara dalil mereka adalah firman Allah Ta’ala,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Dirikanlah shalat dan berkurbanlah (an nahr).” (Qs. Al Kautsar: 2). Hadits ini menggunakan kata perintah dan asal perintah adalah wajib. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diwajibkan hal ini, maka begitu pula dengan umatnya.[11] Dan masih ada beberapa dalil lainnya.

[Pendapat kedua] Sunnah dan Tidak Wajib

Mayoritas ulama berpendapat bahwa menyembelih qurban adalah sunnah mu’akkad. Pendapat ini dianut oleh ulama Syafi’iyyah, ulama Hambali, pendapat yang paling kuat dari Imam Malik, dan salah satu pendapat dari Abu Yusuf (murid Abu Hanifah). Pendapat ini juga adalah pendapat Abu Bakr, ‘Umar bin Khottob, Bilal, Abu Mas’ud Al Badriy, Suwaid bin Ghafalah, Sa’id bin Al Musayyab, ‘Atho’, ‘Alqomah, Al Aswad, Ishaq, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir.

Di antara dalil mayoritas ulama adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ

“Jika masuk bulan Dzulhijah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih qurban, maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya.”[12] Yang dimaksud di sini adalah dilarang memotong rambut dan kuku shohibul qurban itu sendiri.

Hadits ini mengatakan, “dan salah seorang dari kalian ingin”, hal ini dikaitkan dengan kemauan. Seandainya menyembelih qurban itu wajib, maka cukuplah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya”, tanpa disertai adanya kemauan.

Begitu pula alasan tidak wajibnya karena Abu Bakar dan ‘Umar tidak menyembelih selama setahun atau dua tahun karena khawatir jika dianggap wajib[13]. Mereka melakukan semacam ini karena mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak mewajibkannya. Ditambah lagi tidak ada satu pun sahabat yang menyelisihi pendapat mereka. [14]

Dari dua pendapat di atas, kami lebih cenderung pada pendapat kedua (pendapat mayoritas ulama) yang menyatakan menyembelih qurban sunnah dan tidak wajib. Di antara alasannya adalah karena pendapat ini didukung oleh perbuatan Abu Bakr dan Umar yang pernah tidak berqurban. Seandainya tidak ada dalil dari hadits Nabi yang menguatkan salah satu pendapat di atas, maka cukup perbuatan mereka berdua sebagai hujjah yang kuat bahwa qurban tidaklah wajib namun sunnah (dianjurkan).

فَإِنْ يُطِيعُوا أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ يَرْشُدُوا

“Jika kalian mengikuti Abu Bakr dan Umar, pasti kalian akan mendapatkan petunjuk.”[15]

Namun sudah sepantasnya seorang yang telah berkemampuan untuk menunaikan ibadah qurban ini agar ia terbebas dari tanggung jawab dan perselisihan yang ada. Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi mengatakan, “Janganlah meninggalkan ibadah qurban jika seseorang mampu untuk menunaikannya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan, “Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu kepada perkara yang tidak meragukanmu.” Selayaknya bagi mereka yang mampu agar tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan. Wallahu a’lam.”[16]

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah. Semoga Allah memudahkan kita untuk melakukan ibadah yang mulia ini dan menerima setiap amalan sholih kita. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala amalan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya.

Footnote:

[1] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 6/195, Mawqi’ At Tafaasir.

[2] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 2/366, Maktabah At Taufiqiyyah, cetakan tahun 2003.

[3] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1525, Multaqo Ahlul Hadits.

[4] Idem

[5] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1526.

[6] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1528.

[7] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/379.

[8] Lihat Zaadul Masiir, 2/446.

[9] Lihat penjelasan yang sangat menarik dari Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam Taisir Karimir Rahman fii Tafsiri Kalamil Mannan, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.

[10] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1527.

[11] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1529.

[12] HR. Muslim no. 1977, dari Ummu Salamah.

[13] Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ no. 1139 menyatakan bahwa riwayat ini shahih.

[14] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1529.

[15] HR. Muslim no. 681.

[16] Adhwa-ul Bayan fii Iidhohil Qur’an bil Qur’an, hal. 1120, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah Beirut, cetakan kedua, tahun 2006.

***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Dipublikasi ulang dari rumaysho.com
Pangukan, Sleman, sore hari, 12 Dzulqo’dah 1430 H
Dicopy dan disebarkan oleh : must ris.


Selengkapnya...

Selasa, 20 Oktober 2009

KISAH PENGEMBARAAN JOKO UMBORO

Kupandangi wajah guruku Ki Ageng Wilis yang sangat teduh tersebut, sambil aku menunggu kalimat bijak apa yang akan beliau titahkan padaku.

Sudah semenjak pagi selepas Sholat Subuh tadi Ki Ageng memintaku untuk menemui beliau di gubuk mungil ini, letaknya di belakang padepokan Panjer Bumi di lereng gunung Wilis yang begitu asri.



Sedari tadi kami masih terdiam terpaku, sementara suara gemericik air sungai kecil yang berhulu dari Air Terjun Sedudo, berpadu dengan kicau burung prenjak menambah kesyahduan kebisuan kami.

Tiba-tiba suara dehem beliau memecah kebisuan ini, lalu selanjutnya dengan suara yang penuh kelembutan beliau berkata, “Ngger, muridku Jaka Umboro, kamu tahu apa maksudku untuk mengundangmu kesini?”

Belum sempat aku menjawab pertanyaan tersebut, Ki Ageng Wilis melanjutkan titahnya, "Ketahuilah ngger, sudah delapan tahun angger berguru dan menuntut ilmu disini sejak ayahmu sekaligus juga sahabatku Ki Jembar Panuntun, menitipkanmu padaku."

“Dan aku merasa sudah semua ilmuku kuajarkan kepadamu, mungkin saat ini adalah yang terbaik bagimu ngger, untuk memulai pengembaraanmu, mendarma baktikan ilmumu pada jalan kebajikan “.

“Aku tak hendak mengusirmu atau menundungmu pergi dari padepokan ini, tetapi seperti lazimnya para santri, jika telah cukup ilmu yang ditimba, maka sudah seyogyanyalah angger mengabdikannya pada masyarakat dan Negara, ngayomi wong-wong kang ketindas, ngemong wong-wong kang kesasar lan nuntun wong-wong kang keblinger."

“Dan perlu juga engkau ketahui ngger, tadi malam dalam tafakurku aku seolah menerima pesan ghaib dari Kanjeng Sunan Kalijaga dan para Wali di Kraton Demak Bintoro, agar aku mengutus salah seorang muridku untuk menghadap Sultan Demak, karena ada tugas yang maha berat yang akan diberikan kepada kita."

“Setelah aku menimang dan menimbang maka hanya engkaulah ngger yang kiranya akan mampu mengemban tugas tersebut."

Rentetan kalimat dan titah dari Ki Ageng Wilis membuatku terhenyak, sudah sekian tahun aku berada di padepokan ini sejak usiaku masih belasan, menimba ilmu batin maupun ilmu kanuragan, demikian banyak peristiwa indah yang aku alami tentu terasa berat bagiku jika meninggalkan padepokan ini.

Suasana keguyuban dan keakrapan diantara para murid Ki Ageng, suasana padepokan yang dikelilingi oleh alam yang asri, tentram dan indah, dan yang lebih membuatku terasa berat untuk meninggalkannya adalah sosok Dyah Ayu Wulandari.

Iya, Dyah Ayu Wulandari, gadis manis putri semata wayang Ki Ageng Wilis, sudah lama aku menaruh hati padanya, dan cintakupun tak bertepuk sebelah tangan, sebab bak gayung bersambut diapun menerima pucuk cintaku.

Senyumnya yang menawan kala dia membawakanku kendi air putih serta sebungkus tiwul, setiap saat istirahat siang sehabis aku mengerjakan ladang milik Ki Ageng di kaki gunung. Atau setiap sore hari sehabis sholat Asyar dan ngaji Bathokan di Masjid depan padepokan, kusaksikan wajah manis itu sedang memintal benang dari balik jendela rumah Ki Ageng.

Lamunanku tentang Dyah Ayu Wulandari seketika buyar, manakala Ki Ageng Wilis melanjutkan titahnya padaku.

“Bagaimana ngger, kira-kira siapkah angger menerima tugas dari Sultan Demak?”

Dengan sedikit gugup karena aku takut Ki Ageng sedang membaca pikiranku yang sedang melamunkan putrinya, akupun menjawab: “Siap Guru. Kawula siap untuk menjalankan titah Guru, apalagi ini adalah tugas dari Negara, maka sudah menjadi kewajiban kawula untuk ikut bela Negara, apabila Negara memang membutuhkan tenaga kawula “.

“ Baiklah ngger jika angger benar-benar telah siap, segeralah siapkan bekal perjalanan angger, sebab esok pagi angger mesti berangkat memulai tugas mulia ini “.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Pagi-pagi sekali aku sudah harus meninggalkan padepokan Panjer Bumi, didepan pintu gerbang Ki Ageng Wilis dan bebarapa santri temanku melepas kepergianku dengan haru, sementara di dalam rumah dari balik pintu kusaksikan Dyah Ayu Wulandari meneteskan air matanya. Tetapi aku harus pergi meski berat langkah kaki ini terayun, dalam hati aku bergumam:
Aku pergi dengan gamang hati
Langkah merambat memijak bumi
Tinggalkan jejak-jejak sepi sunyi
Burung prenjak mengejeku sambil bernyanyi

Aku pergi membawa lara hati
Kepada pujaan kutambatkan mimpi
Bila esok atau lusa aku datang kembali
Akankah dia masih setia menanti

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Tiba di suatu lembah yang ranum matahari mulai kemuning merangkak pelan menuju ujung cakrawala. Selepas sholat Asyar ditepian tanggul bantaran bengawan Madiun, sambil duduk terfekur aku melafadzkan wirid-wirid ajaran guru, “ Khasbunallah Wa Ni’mal Wakiil, Ni’mal Maula Wa ni’man Nashiir “ (Hanya Allah lah sebaik-baiknya Penjaga dan sebaik-baiknya Penolong) berulang-ulang.

Sambil merenungkan ke-Maha Agungan Gusti Allah, karya cipta-Nya yang tergambar begitu indah di seluruh jagad raya ini. Kusaksikan sebuah lukisan alam semesta yang mempesona sore ini. Hamparan sawah dan rerumputan menghijau permai, aliran air Bengawan Madiun membisu penuh arti, matahari yang mulai terkantuk di ujung senja, dari kejauhan tampak guratan-guratan lekuk tubuh Gunung Wilis membujur bak raksasa yang sedang tertidur, langit biru membentang luas tanpa ujung. Yaa Illahi, sungguh tak sia-sia Engkau ciptakan semuanya ini.

Langit mulai menguning saat sayup-sayup terdengar tembang anak-anak gembala, yang sedang menggembalakan kerbaunya di dataran lembah subur di tepi sungai ini.

Ilir-ilir ilir-ilir, Tandure woh sumilir
Tak ijo royo-royo, Tak sengguh kemanten anyar
Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro, kumitir bedah ing pinggir
Jumratana dondomono, kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane
Yoo surak ooo, suraak hii yooo.

Tembang ini menggambarkan perkembangan syi’ar Islam yang sedang tumbuh mekar, seperti daun yang ijo royo-royo dan baru namun indah seindah Pengantin anyar, memberikan nuansa yang damai diseluruh pelosok negeri Demak Bintoro, selepas dihantam huru-hara perang Paregeg, perang saudara antar Keluarga Kerajaan Majapahit.
Sekarang telah muncul kerajaan baru dengan nafas Islam yang membawa angin kesejukan dan kedamaian.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Sesampainya di Keraton Demak, kakiku setengah gemetar tatkala diantarkan kepala pejaga gerbang kerajaan menghadap ke istana Raja guna mengantarkan nawala (surat pengantar) dari Ki Ageng Wilis kepada Sultan Demak .

Sultan Demak, tampak sangat agung dan berwibawa duduk diatas dampar istananya yang sederhana, para Sunan duduk berjejer di sekeliling beliau, wajah-wajah mereka memancarkan aura keteduhan dan kearifan yang luar biasa.

Setelah membaca nawala dari Ki Ageng Wilis, Sultan Demak bertitah:

“Jadi andika yang diutus oleh Ki Ageng Wilis sebagai wakil beliau untuk tugas menumpas kekacauan yang ditimbulkan oleh para begal dan berandal Alas Roban."
“Sendiko dawuh Sinuwun," jawabku

Kemudian beliau melanjutkan titahnya :

“Aku percaya melihat dedeg piadeg andika yang gagah perkasa ini, tampaknya tidak salah Ki Ageng Wilis memilih andika, sebab saya yakin tentulah andika murid utama dari beliau yang sudah pasti mumpuni dalam hal ilmu kanuragan dan kesaktian."

“Baiklah jika andika memang sanggup mengemban tugas ini, Kami dan para Sunan disini akan membantu dengan dukungan kekuatan batin yang akan mengiringi setiap langkah andika."

“Sendiko dawuh Sinuwun," jawabku lagi.

Kanjeng Sunan Kalijaga yang sedari tadi terdiam, kemudian angkat bicara:

“Ngger Jaka Umboro, tetapi sliramu harus hati-hati, Bogel Kaliki ketua dari para begal Alas Roban itu mempunyai kesaktian yang digdaya sekaligus juga sangat kejam dan tak berperi kemanusiaan."

“Sliramu harus terus waspada menghadapi kesaktian dan muslihat liciknya yang memang berbahaya, sebab telah aku dengar banyak sekali para pendekar yang mencoba menumpasnya harus menyerah kalah dan mati ditangannya."

“Untuk itu ngger, aku ingin menitipkan pusakaku kepadamu sebagai bekal dalam menghadapinya nanti."

Selanjutnya dari balik bajunya beliau mengeluarkan sebilah keris pusaka, kemudian menyerahkannya kepadaku.

Tanganku gemetar menerima keris pusaka Kyai Sengkelat milik Sunan Kalijaga yang hendak dipinjamkannya kepadaku itu. Seolah-olah aku tak percaya bahwa aku harus menerima amanah berupa keris pusaka yang sangat ampuh itu.

“Nyuwun pangestunipun kanjeng Sunan, semoga kawula bisa menerima amanah kanjeng Sunan ini, serta mampu menyelesaikan tugas Negara yang mulia ini dengan tuntas," kataku.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Alas Roban memang angker, tak salah memang tidak sembarangan orang berani memasuki kawasan hutan ini, ibaratnya Janmo Moro Janmo Mati Sato Moro Sato Mati, manusia berani masuk maka dia kan mati, binatang buas berani masuk maka dia juga akan mati.

Dengan terus waspada aku melangkah masuk kedalamnya, sambil menyiagakan seluruh panca inderaku, aji-aji Ciptaning Rasa Hening ing Pikir wejangan guruku kulafadzkan pelan-pelan denga penuh konsentrasi.

Seketika seluruh panca inderaku seolah terasa lebih tajam dan peka, mataku seolah mampu menyapu jarak ribuan hasta ditengah-tengah hutan belantara yang gulita, telingaku seperti mampu mendengar gesekan daun-daun kering yang berjatuhan dari rantingnya, hidungku seolah mampu mencium seluruh aroma pepohonan dan ilalang yang tumbuh liar tak beraturan.

Sembari terus memasang sikap waspada aku bergerak menuju tengah-tengah belantara Alas Roban, tempat yang konon katanya merupakan sarang dari gerombolan begal dan penyamun yang menakutkan itu.

Tiba-tiba terdengar suara orang-orang tertawa terbahak-bahak, kemudian bermunculan-lah beberapa kelebat bayangan, keluar dari persembunyian dibalik pohon-pohon besar yang tumbuh liar.

Dua belas orang mengepungku dari berbagai penjuru, sambil terus tertawa mereka mengejeku, tampang-tampang mereka yang seram dan brewokan plus baju-baju mereka yang hitam semakin menambah keberingasan di wajah mereka.

Tak salah jika mereka dijuluki sebagai gerombolan Tiga Belas Setan Penghuni Alas Roban melihat wajah mereka yang menyeramkan itu tampaknya cocok julukan itu disematkan pada mereka.

Gerombolan begal, yang telah menebar teror dan kekacauan didaerah pantai utara Jawa dan sekitarnya, telah banyak kampung-kampung penduduk yang dijarah dan dirampok, telah banyak gadis-gadis yang diculik dan diperkosa oleh mereka.

Tetapi ini baru dua belas orang kemana yang satu-nya lagi tanyaku dalam hati.

“Hai siapa kau bocah bagus, berani-beraninya kau memasuki kawasan kami, kamu sudah bosan hidup ya?" salah seorang dari mereka berkata.

“Ha ha ha ha ha," lalu ditimpali dengan tawa yang menggema dari yang lainnya.
“ Aku Jaka Umboro, aku ditugaskan oleh Sultan Demak untuk menumpas kalian, untuk membinasakan kebiadapan kalian," teriaku lantang.
“Ha ha ha ha ha," kembali tawa lantang mereka bergema bersautan.
“Apa kami tak salah dengar, bocah ingusan macam kamu berani menantang kami? Ha ha ha ha, jangan mimpi bocah bagus! Ha ha ha ha.”
“Menyerahlah kalian atau akan aku kirim ke neraka ! “, kataku tegas.
“Ha ha ha ha ha , sombong benar bocah ini tak sabar aku mencoba keberaniannya “, seorang dari mereka kemudian meloncat menerkamku dengan tendangan kaki kanan mengarah ke kepalaku.

Dengan sedikit miringkan kepala, kuberhasil menghindar dari tendangannya, lalu secepat kilat pula kuayunkan pukulan Tapak Baja tepat kearah tulang rusuknya. Dia tak bisa menghindari pukulanku, dengan keras pukulan Tapak Bajaku menghantam tulang rusuknya, dia terlempar jatuh ketanah tewas seketika.

Sebelas kawannya marah bukan kepalang melihat temannya aku tewaskan, mereka lalu menyerbuku dari segala penjuru. Dengan jurus Alap-alap Nyamber Langit aku melompat terbang keatas menghindari serbuan mereka, lalu kulanjutkan dengan jurus Alap-alap Nyamber Bumi, dengan kepala menukik kebawah kedua telapak tanganku mencakar mengincar batok kepala mereka.

Dua dari mereka tak sempat mengelak cengkeraman cakaranku, lalu keduanya jatuh tersungkur tewas dengan batok kepala pecah. Sisa-sisa gerombolan itu menjadi semakin liar menyerangku, golok-golok mereka berkelebatan berusaha menyabet tubuhku. Dengan sigap aku terus bergerak menghindari serbuan mereka. Dan sekali-sekali pukulan Tapak Bajaku, mampu kuhujamkan satu persatu kearah mereka.

Setelah bertarung hampir sepuluh jurus, akhirnya aku berhasil menewaskan mereka semua. Bau anyir darah berceceran dimana-mana, mayat-mayat mereka bergelimpangan tumpang tindih. Balasan yang setimpal atas kejahatan dan kebejatan mereka selama ini.

“Bangsat, bedebah siapa yang berani melakukan ini ditempatku! “, tiba-tiba terikan menggelegar muncul dari kejauhan.

Secepat kilat sebuah bayangan tinggi besar berkelebat lalu muncul didepanku. Rupanya ini dia si Bogel Kaliki, ketua dari gerombolan begal Tiga Belas Setan Penghuni Alas Roban. Tokoh dunia hitam yang paling kejam dan ditakuti oleh tokoh-tokoh dunia persilatan.

“Hei siapa kau bocah keparat, berani membuat keonaran ditempatku dan membantai semua pengikutku ?”, tanyanya geram.
“Tak perlu kau tahu siapa aku, yang jelas aku akan menyeretmu menghadap Sultan Demak sebagai balasan atas semua kejahatanmu ”, tukasku.
“Bedebah ingusan, kau benar-benar membuatku ingin segera menghabisimu, sebagai balasan atas kematian anak buahku, tubuhmu akan kucincang kujadikan makanan harimau piaraanku “, gertaknya.
“Jangan banyak bicara kau, hai manusia bejat, menyerahlah atau akan kukirim kau ke neraka bersama para pengikutmu “, ancamku.

Dia semakin marah, tubuhnya tiba-tiba bergetar, keluar asap mengepul diubun-ubun kepalanya, wajahnyapun berubah memerah darah, rupa-rupanya dia akan mengeluarkan aji pamungkasnya yaitu ajian Singo Barong.

Dengan auman yang menggelegar dia menerjangku seperti singa hendak menerkam mangsanya, meski tubuhnya tinggi dan besar namun gerakannya sangat cepat sekali, ini tanda bahwa ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sudah cukup sempurna.

Beruntung guruku Ki Ageng Wilis mewarisiku ajian Lembu Sekilan, sehingga setiap terkaman dan terjangan dari Bogel Kaliliki, selalu meleset satu kilan jauhnya dari tubuhku.

Diapun menjadi semakin mengganas, terjangan dan cakarannya membabi buta kearahku, dan lagi-lagi semua serangannya berhasil kuhindari. Malah dalam satu kesempatan ketika dia lengah, pukulan Tapak Bajaku telak menghantam punggungnya. Dia terpental jatuh, tapi sungguh hebat memang tenaga dalamnya, telapakku terasa ngilu dibuatnya.

Dia mengerang lalu bangkit lagi, namun tiba-tiba dia mengubah posisinya dengan duduk bersila dan mulutnya komat-kamit membaca mantra ajiannya. Tubuhnya yang semula berwarna merah berubah menjadi kebiru-biruan, kedua telapak tangannya mengepal.

Perlahan dari kedua kepalan tangannya mengeluarkan api, inilah rupanya ajian Tinju Geni yang merupakan pukulan pamungkasnya itu. Kembali dia mengaum lalu bangkit menerjangku, pukulan tinju geninya terus dilayangkan ketubuhku. Kilatan-kilatan api yang keluar dari kedua tangannya menyambar kearahku, beberapa pukulannya yang meleset menghantam pohon-pohon besar, dan membuatnya hangus terbakar.

Tak mau menjadi korban keganasan pukulan tinju geni, akupun mengerahkan jurus pamungkasku ajian Bolo Sewu, dengan mempercepat gerakan tubuhku, maka seolah tubuhku berubah seperti seribu bayangan. Aji pamungkas yang secara khusus diajarkan Ki Ageng Wilis, dengan menggemblengku di tepian Air Terjun Sedudo.

Bogel Kaliki tercekat kebingungan melihat ribuan bayangku mengepungya dari berbagai penjuru, tenaganyapun mulai kehabisan karena serangan-serangannya yang gagal mengenaiku. Lalu dia cabut Golok Setan senjata andalanya, lalu membabatku membabi buta, namun semua sabetannya hanya mengenai bayang-bayang kosong.

Hampir tiga puluh jurus kami bertarung, hingga akhirnya dalam sebuah kelengahannya aku berhasil menikamkan keris Kyai Sengkelat tepat di jantungnya. Bogel Kaliki mengerang panjang lalu diapun terkapar tewas ditanganku.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Sultan Demak hendak mengangkatku sebagai menantunya, putrinya yang jelita Raden Ajeng Retno Siti Ruhmaningsih hendak dijodohkan denganku.

Pesta pernikahanpun telah disiapkan, semua ubo rampenya sudah di persiapkan oleh para dayang-dayang keraton: dampar penganten, kuwade (dari bahasa Arab: Ku yang berarti Jagalah dan Wadi yang artinya Rahasia maksudnya dalam membina rumah tangga harus bisa menjaga rahasia dan mengayomi pasangannya masing-masing), kembang setaman, janur kuning, beras kuning, sego tumpeng gunung kempul, iwak ikung, semuanya telah ditata dengan rapi, untuk menyambut para tetamu.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Perlahan-lahan kakiku melangkah, didampingi para abdi dan dayang pembawa kembang mayang. Tembang Kebo Giro mengalun begitu lembut diiringi oleh Gamelan Kyai Cundramanik yang bertalu-talu membuat pesta pengantin terasa syahdu. Di ujung sana kulihat Raden Ajeng Retno Siti Ruhmaningsih tampak begitu cantik mempesona, dibalut baju pengantin yang maneko warno, aroma harum dari kembang setaman membuat jantungku berdetak kencang.

Duduk diatas dampar pengantin, didampingi seorang putri nan jelita, aku benar-benar tak pernah membayangkan sebelumnya. Sekilas kulirik wajahnya, diapun tersenyum padaku, jantungku semakin berdetak tak beraturan, aku tertunduk tersipu malu (tapi mau).

Tak dinyana-nyana diajeng Retno Ruhmaningsih tiba-tiba menjawil pundakku lalu berkata :
“Sir, Do you want a cup of coffe ? “

Tergagap aku terbangun dari kantukku, didepanku kulihat gadis cantik pramugari Ettihad Airways sedang tersenyum.

“Sorry, come again ?”, tanyaku balik kepadanya.
“Do you want a cup of coffe ?”, tanyanya lagi kepadaku.
“Ya, ya but please give a little bit of sugar ? “, jawabku.

Selang beberapa saat kemudian sang Pilot mengumumkan bahwa sekitar tiga puluh menit lagi pesawat akan mendarat di Abu Dhabi airport. Masih terduduk termangu dikursiku aku terngiang-ngiang akan mimpiku.

Sambil kuseruput kopi panas buatan mbak pramugari tadi, dalam hati aku mengumpat : weleh, weleh, weleh, wee lha dalah jebule amung mimpi, ternyata semuanya tadi hanya mimpi, maka gagalah aku menjadi menantu Sultan Demak.

Note: Nama tokoh dan tempat yang tersebut diatas hanyalah fiktif semata, bila ada kesamaan dan persamaan itu hanyalah kebetulan saja, karena kisah ini hanya terjadi di alam mimpi.

Wasalam & semoga terhibur

Doha, 4 Oktober 2009

Cerita Humor oleh : Rudi Setiawan / Kompas.com
Dicopy dan dipublikasikan kembali oleh : must ris



Selengkapnya...

Rabu, 07 Oktober 2009

MUSIBAH, Antara Pahala dan Dosa

Segala puji bagi Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Salawat dan salam semoga tercurah kepada teladan kaum beriman Muhammad bin Abdullah, dan juga para pengikutnya yang setia kepada ajaran-ajarannya di saat suka maupun duka. Amma ba’du.



Sesungguhnya musibah dan bencana merupakan bagian dari takdir Allah Yang Maha Bijaksana. Allah ta’ala berfirman,

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Tidaklah menimpa suatu musibah kecuali dengan izin Allah. Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya.” (Qs. at-Taghabun: 11)

Ibnu Katsir rahimahullah menukil keterangan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma bahwa yang dimaksud dengan izin Allah di sini adalah perintah-Nya yaitu ketetapan takdir dan kehendak-Nya. Beliau juga menjelaskan bahwa barang siapa yang tertimpa musibah lalu menyadari bahwa hal itu terjadi dengan takdir dari Allah kemudian dia pun bersabar, mengharapkan pahala, dan pasrah kepada takdir yang ditetapkan Allah niscaya Allah akan menunjuki hatinya. Allah akan gantikan kesenangan dunia yang luput darinya -dengan sesuatu yang lebih baik, pent- yaitu berupa hidayah di dalam hatinya dan keyakinan yang benar. Allah berikan ganti atas apa yang Allah ambil darinya, bahkan terkadang penggantinya itu lebih baik daripada yang diambil. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma ketika menafsirkan firman Allah (yang artinya), “Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan menunjuki hatinya.” Maksudnya adalah Allah akan tunjuki hatinya untuk merasa yakin sehingga dia menyadari bahwa apa yang -ditakdirkan- menimpanya pasti tidak akan meleset darinya. Begitu pula segala yang ditakdirkan tidak menimpanya juga tidak akan pernah menimpa dirinya (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [4/391] cet. Dar al-Fikr)

Beliau -Ibnu Katsir- juga menukil keterangan al-A’masy yang meriwayatkan dari Abu Dhabyan, dia berkata, “Dahulu kami duduk-duduk bersama Alqomah, ketika dia membaca ayat ini ‘barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan menunjuki hatinya’ dan beliau ditanya tentang maknanya. Maka beliau menjawab, ‘Orang -yang dimaksud dalam ayat ini- adalah seseorang yang tertimpa musibah dan mengetahui bahwasanya musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridha dan pasrah kepada-Nya.” Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim di dalam tafsir mereka. Sa’id bin Jubair dan Muqatil bin Hayyan ketika menafsirkan ayat itu, “Yaitu -Allah akan menunjuki hatinya- sehingga mampu mengucapkan istirja’ yaitu Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [4/391] cet. Dar al-Fikr)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa ayat di atas berlaku umum untuk semua musibah, baik yang menimpa jiwa/nyawa, harta, anak, orang-orang yang dicintai, dan lain sebagainya. Maka segala musibah yang menimpa hamba adalah dengan ketentuan qadha’ dan qadar Allah. Ilmu Allah telah mendahuluinya, kejadian itu telah dicatat oleh pena takdir-Nya. Kehendak-Nya pasti terlaksana dan hikmah/kebijaksanaan Allah memang menuntut terjadinya hal itu. Namun, yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah hamba yang tertimpa musibah itu menunaikan kewajiban dirinya ketika berada dalam kondisi semacam ini ataukah dia tidak menunaikannya? Apabila dia menunaikannya maka dia akan mendapatkan pahala yang melimpah ruah di dunia dan di akherat. Apabila dia mengimani bahwasanya musibah itu datang dari sisi Allah sehingga dia merasa ridha atasnya dan menyerahkan segala urusannya -kepada Allah, pent- niscaya Allah akan tunjuki hatinya. Dengan sebab itulah ketika musibah datang hatinya akan tetap tenang dan tidak tergoncang seperti yang biasa terjadi pada orang-orang yang tidak mendapat karunia hidayah Allah di dalam hatinya. Dalam keadaan seperti itu Allah karuniakan kepada dirinya -seorang mukmin- keteguhan ketika terjadinya musibah dan mampu menunaikan kewajiban untuk sabar. Dengan sebab itulah dia akan memperoleh pahala di dunia, di sisi lain ada juga balasan yang Allah simpan untuk-Nya dan akan diberikan kepadanya kelak di akherat. Hal itu sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya hanya akan disempurnakan balasan bagi orang-orang yang sabar itu dengan tanpa batas hitungan.” (Taisir al-Karim ar-Rahman [1/867], software Maktabah asy-Syamilah)

Beliau melanjutkan, dari sinilah dapat dimengerti bahwa barang siapa yang tidak beriman terhadap takdir Allah ketika terjadinya musibah dan dia meyakini bahwa apa yang terjadi sekedar mengikuti fenomena alam dan sebab-sebab yang tampak niscaya orang semacam itu akan dibiarkan tanpa petunjuk dan dibuat bersandar kepada dirinya sendiri. Apabila seorang hamba disandarkan hanya kepada kekuatan dirinya sendiri maka tidak ada yang diperolehnya melainkan keluhan dan penyesalan yang hal itu merupakan hukuman yang disegerakan bagi seorang hamba sebelum hukuman di akherat akibat telah melalaikan kewajiban bersabar. Di sisi yang lain, ayat di atas juga menunjukkan bahwasanya setiap orang yang beriman terhadap segala perkara yang diperintahkan untuk diimani, seperti iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, takdir yang baik dan yang buruk, dan melaksanakan konsekuensi keimanan itu dengan menunaikan berbagai kewajiban, maka sesungguhnya hal ini merupakan sebab paling utama untuk mendapatkan petunjuk Allah dalam menyikapi keadaan yang dialaminya sehingga dia bisa berucap dan bertindak dengan benar. Dia akan mendapatkan petunjuk ilmu maupun amalan. Inilah balasan paling utama yang diberikan Allah kepada orang-orang yang beriman. Maka orang-orang beriman itulah orang yang hatinya paling mendapatkan petunjuk di saat-saat berbagai musibah dan bencana menggoncangkan jiwa kebanyakan manusia. Keteguhan itu ditimbulkan dari kokohnya keimanan yang tertanam di dalam jiwa mereka (dengan sedikit peringkasan dari Taisir al-Karim ar-Rahman [1/867], software Maktabah asy-Syamilah)

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa di dalam ayat di atas terkandung beberapa pelajaran yang agung, yaitu:
Segala musibah yang menimpa itu terjadi dengan qadha’ dan qadar dari Allah ta’ala.
Merasa ridha terhadap takdir tersebut dan bersabar dalam menghadapi musibah merupakan bagian dari nilai-nilai keimanan, sebab Allah menamakan sabar di sini dengan iman.
Kesabaran itu akan membuahkan hidayah menuju kebaikan di dalam hati dan kekuatan iman dan keyakinan ((I’anat al-Mustafid bi Syarhi Kitab at-Tauhid [3/140] software Maktabah asy-Syamilah)

Kedudukan Sabar dan Pengertiannya

Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu mengatakan,

الصَّبْرُ مِنَ الإِيمَانِ بِمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ الْجَسَدِ ، فَإِذَا ذَهَبَ الصَّبْرُ ذَهَبَ الإِيمَانُ.

“Sabar bagi keimanan laksana kepala dalam tubuh. Apabila kesabaran telah lenyap maka lenyap pulalah keimanan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya [31079] dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman [40], bagian awal atsar ini dilemahkan oleh al-Albani dalam Dha’if al-Jami’ [3535], lihat Shahih wa Dha’if al-Jami’ as-Shaghir [17/121] software Maktabah asy-Syamilah)

Walaupun secara sanad atsar ini dinilai lemah, namun secara makna bisa diterima. Hal itu dikarenakan cakupan sabar yang demikian luas dalam agama Islam. Ia mencakup sikap seorang hamba dalam menghadapi berbagai perintah dan larangan serta berbagai keadaan yang dialami manusia di dalam kehidupan, di saat senang maupun susah. Untuk itu, marilah kita cermati pengertian sabar ini agar jelas bagi kita bahwa hidup tanpa kesabaran pada akhirnya akan menyeret manusia dalam jurang kekafiran.

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan,

الصبر لغة: الحبْس، قال الله تعالى لنبيه: {وَاصْبرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ} أي: احبسها مع هؤلاء. وأما في الشرع فالصبر هو: حبس النفس على طاعة الله سبحانه وتعالى وترك معصيته. وذكر العلماء: أن الصبر له ثلاثة أنواع: صبرٌ على طاعة الله، وصبرٌ عن محارم الله، وصبرٌ على أقدار الله المؤلِمة.

“Sabar secara bahasa artinya adalah menahan diri. Allah ta’ala berfirman kepada nabi-Nya (yang artinya), ‘Sabarkanlah dirimu bersama orang-orang yang berdoa kepada Rabb mereka’. Maksudnya adalah tahanlah dirimu untuk tetap bersama mereka. Adapun di dalam istilah syari’at, sabar adalah: menahan diri di atas ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan untuk meninggalkan kedurhakaan/kemaksiatan kepada-Nya. Para ulama menyebutkan bahwa sabar itu ada tiga macam: sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah, sabar dalam menjauhi perkara-perkara yang diharamkan Allah, dan sabar saat menghadapi takdir Allah yang terasa menyakitkan.” (I’anat al-Mustafid bi Syarhi Kitab at-Tauhid [3/134] software Maktabah asy-Syamilah)

Ketika kesabaran lenyap

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اثْنَتَانِ فِى النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ الطَّعْنُ فِى النَّسَبِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ

“Ada dua buah perkara dalam diri manusia yang merupakan bentuk kekafiran. Mencaci maki garis keturunan dan meratapi mayit.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

an-Nawawi rahimahullah menguatkan pendapat bahwa yang dimaksud hadits ini adalah kedua perbuatan ini tergolong perbuatan orang-orang kafir (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim [2/57] software Maktabah asy-Syamilah). Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menerangkan bahwa hadits ini mencakup dua makna. Yang pertama yang dimaksud kufur di sini adalah kufur nikmat -tidak sampai mengeluarkan dari agama, pent- sedangkan yang kedua yang dimaksud adalah keduanya digolongkan sebagai perbuatan orang-orang kafir (Kaysf al-Musykil min Hadits Shahihain [1/1025] software Maktabah asy-Syamilah).

Di antara pelajaran berharga yang bisa dipetik dari hadits ini adalah:
Diharamkannya mencaci maka nasab/garis keturunan dan meratapi mayit.
Isyarat yang menunjukkan bahwasanya kedua perbuatan ini akan tetap muncul di dalam umat ini.
Bisa jadi di dalam diri seseorang terdapat sifat atau ciri kekafiran namun dia tidak bisa dicap sebagai orang kafir -semata-mata karena hal itu-
Islam melarang segala sesuatu yang mengarah kepada perpecahan (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz al-Qor’awi, hal. 272)

Hikmah di balik derita

Tidaklah kita ragukan barang sedikitpun bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Bijaksana, tidak sedikit pun Allah menganiaya hamba-Nya. Allah ta’ala berfirman,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ () الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ () أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

“Benar-benar Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, serta kekurangan harta, lenyapnya nyawa, dan sedikitnya buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila tertimpa musibah mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami ini adalah milik Allah, dan kami juga akan kembali kepada-Nya’. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan pujian dari Rabb mereka dan curahan rahmat. Dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (Qs. al-Baqarah: 155-157)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا ، وَإِذَا أَرَادَ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَلَيْهِ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَهُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Apabila Allah menghendaki hamba-Nya mendapatkan kebaikan maka Allah segerakan baginya hukuman di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan untuknya maka Allah akan menahan hukumannya sampai akan disempurnakan balasannya kelak di hari kiamat.” (HR. Muslim)

Di dalam hadits yang agung ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa ada kalanya Allah ta’ala memberikan musibah kepada hamba-Nya yang beriman dalam rangka membersihkan dirinya dari kotoran-kotoran dosa yang pernah dilakukannya selama hidup. Hal itu supaya nantinya ketika dia berjumpa dengan Allah di akherat maka beban yang dibawanya semakin bertambah ringan. Demikian pula terkadang Allah memberikan musibah kepada sebagian orang akan tetapi bukan karena rasa cinta dan pemuliaan dari-Nya kepada mereka namun dalam rangka menunda hukuman mereka di alam dunia sehingga nanti pada akhirnya di akherat mereka akan menyesal dengan tumpukan dosa yang sedemikian besar dan begitu berat beban yang harus dipikulnya ketika menghadap-Nya. Di saat itulah dia akan merasakan bahwa dirinya memang benar-benar layak menerima siksaan Allah. Allah memberikan karunia kepada siapa saja dengan keutamaan-Nya dan Allah juga memberikan hukuman kepada siapa saja dengan penuh keadilan. Allah tidak perlu ditanya tentang apa yang dilakukan-Nya, namun mereka -para hamba- itulah yang harus dipertanyakan tentang perbuatan dan tingkah polah mereka (diolah dari keterangan Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz al-Qor’awi dalam al-Jadid fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hal. 275)

Di antara pelajaran berharga bagi kehidupan kita dari hadits yang agung ini adalah:
Allah memiliki kehendak yang sesuai dengan kemuliaan dan keagungan diri-Nya.
Kebaikan dan keburukan semuanya ditakdirkan oleh Allah ta’ala.
Cobaan/musibah yang menimpa orang-orang yang beriman merupakan salah satu tanda kebaikan baginya selama hal itu tidak menyebabkannya meninggalkan kewajiban atau terjatuh dalam perkara yang diharamkan.
Semestinya seseorang merasa khawatir atas kenikmatan dan kesehatan yang selama ini senantiasa dia rasakan. Sebab boleh jadi itu adalah istidraj/bentuk penundaan hukuman baginya, sementara dia tahu betapa banyak maksiat yang telah dilakukannya, wal ‘iyadzu billah.
Wajibnya untuk berprasangka baik kepada Allah atas segala perkara dunia yang tidak mengenakkan yang menimpa diri kita.
Hadits ini juga menunjukkan bahwa pemberian Allah kepada hamba-Nya tidak selalu mencerminkan bahwa Allah meridhai hal itu untuknya. Seperti contohnya orang yang setiap kali hendak minum khamr kemudian dia selalu mendapatkan kemudahan untuk mendapatkannya, atau bahkan memperolehnya secara gratis. Maka ini semua bukanlah bukti kalau Allah menyukai hal itu untuknya (diambil dari al-Jadid fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hal. 275 dengan sedikit tambahan keterangan dan contoh)

Inilah uraian ringkas yang bisa kami sajikan dalam tuisan yang sangat sederhana ini, semoga bermanfaat bagi kita semua. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Yogyakarta, Sabtu 14 Syawwal 1430 H
Hamba yang mengharapkan ampunan Rabbnya
*********************************
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel abu0muhslih.wordpress.com dipublikasi ulang oleh www.muslim.or.id
dicopy dan publikasikan ulang oleh http://masjidkualbarokah.blogspot.com
Selengkapnya...

Kamis, 24 September 2009

KEUTAMAAN PUASA SUNNAH 6 HARI di BULAN SYAWWAL

Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa (di bulan) Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan (puasa sunnah) enam hari di bulan Syawwal, maka (dia akan mendapatkan pahala) seperti puasa setahun penuh.”[1]

Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal, yang ini termasuk karunia agung dari Allah kepada hamba-hamba-Nya, dengan kemudahan mendapatkan pahala puasa setahun penuh tanpa adanya kesulitan yang berarti[2].

Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:

Pahala perbuatan baik akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali, karena puasa Ramadhan ditambah puasa enam hari di bulan Syawwal menjadi tiga puluh enam hari, pahalanya dilipatgandakan sepuluh kali menjadi tiga ratus enam puluh hari, yaitu sama dengan satu tahun penuh (tahun Hijriyah)[3].

Keutamaan ini adalah bagi orang yang telah menyempurnakan puasa Ramadhan sebulan penuh dan telah mengqadha/membayar (utang puasa Ramadhan) jika ada, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas: “Barangsiapa yang (telah) berpuasa (di bulan) Ramadhan…”, maka bagi yang mempunyai utang puasa Ramadhan diharuskan menunaikan/membayar utang puasanya dulu, kemudian baru berpuasa Syawwal[4].

Meskipun demikian, barangsiapa yang berpuasa Syawwal sebelum membayar utang puasa Ramadhan, maka puasanya sah, tinggal kewajibannya membayar utang puasa Ramadhan[5].

Lebih utama jika puasa enam hari ini dilakukan berturut-turut, karena termasuk bersegera dalam kebaikan, meskipun dibolehkan tidak berturut-turut.[6]

Lebih utama jika puasa ini dilakukan segera setelah hari raya Idhul Fithri, karena termasuk bersegera dalam kebaikan, menunjukkan kecintaan kepada ibadah puasa serta tidak bosan mengerjakannya, dan supaya nantinya tidak timbul halangan untuk mengerjakannya jika ditunda[7].

Melakukan puasa Syawwal menunjukkan kecintaan seorang muslim kepada ibadah puasa dan bahwa ibadah ini tidak memberatkan dan membosankan, dan ini merupakan pertanda kesempurnaan imannya[8].

Ibadah-ibadah sunnah merupakan penyempurna kekurangan ibadah-ibadah yang wajib, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits yang shahih[9].

Tanda diterimanya suatu amal ibadah oleh Allah, adalah dengan giat melakukan amal ibadah lain setelahnya[10].

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, Lc.
Artikel www.muslim.or.id


Selengkapnya...

Senin, 21 September 2009

SELAMAT IDUL FITRI 1 SYAWAL 1430 H

Segenap Pengurus Masjid Jami Al Barokah mengucapkan "selamat Idul Fitri 1 Syawal 1430 H " mengajak kaum muslimin wal muslimat untuk bersama-sama terbeban untuk memakmurkan masjid, mari bergandengan tangan memakmurkan masjid :



Selengkapnya...

Sabtu, 22 Agustus 2009


الحمد لله وحده والصلاة والسلام على من لا نبي بعده، أما بعد

Tamu agung itu sebentar lagi akan tiba, sudah siapkah kita untuk menyambutnya? Bisa jadi inilah Ramadhan terakhir kita sebelum menghadap kepada Yang Maha Kuasa. Betapa banyak orang-orang yang pada tahun kemarin masih berpuasa bersama kita, melakukan shalat tarawih dan idul fitri di samping kita, namun ternyata sudah mendahului kita dan sekarang mereka telah berbaring di ‘peristirahatan umum’ ditemani hewan-hewan tanah. Kapankah datang giliran kita?

Dalam dua buah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kondisi dua golongan yang saling bertolak belakang kondisi mereka dalam berpuasa dan melewati bulan Ramadhan:

Golongan pertama digambarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, maka akan dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Golongan kedua digambarkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

رب صائم حظه من صيامه الجوع والعطش

“Betapa banyak orang berpuasa yang hanya memetik lapar dan dahaga.” (HR. Ibnu Majah), al-Hakim dan dia menshahihkannya. Al-Albani berkata: “Hasan Shahih.”

Akan termasuk golongan manakah kita? Hal itu tergantung dengan usaha kita dan taufik dari Allah ta’ala.

Bulan Ramadhan merupakan momentum agung dari ladang-ladang yang sarat dengan keistimewaan, satu masa yang menjadi media kompetisi bagi para pelaku kebaikan dan orang-orang mulia.

Oleh sebab itu, para ulama telah menggariskan beberapa kiat dalam menyongsong musim-musim limpahan kebaikan semacam ini, supaya kita turut merasakan nikmatnya bulan suci ini. Di antara kiat-kiat tersebut (Agar Ramadhan Kita Bermakna Indah, nasihat yang disampaikan oleh Syaikh kami Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili pada malam Jum’at 27 Sya’ban 1423 H di Masjid Dzun Nurain Madinah. Plus penjelasan-penjelasan lain dari penyusun):

Kiat Pertama: Bertawakal kepada Allah Ta’ala

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Dalam menyambut kedatangan musim-musim ibadah, seorang hamba sangat membutuhkan bimbingan, bantuan dan taufik dari Allah ta’ala. Cara meraih itu semua adalah dengan bertawakal kepada-Nya.”

Oleh karena itu, salah satu teladan dari ulama salaf -sebagaimana yang dikisahkan Mu’alla bin al-Fadhl- bahwa mereka berdoa kepada Allah dan memohon pada-Nya sejak enam bulan sebelum Ramadhan tiba agar dapat menjumpai bulan mulia ini dan memudahkan mereka untuk beribadah di dalamnya. Sikap ini merupakan salah satu perwujudan tawakal kepada Allah.

Ibnu Taimiyah menambahkan, bahwa seseorang yang ingin melakukan suatu amalan, dia berkepentingan dengan beberapa hal yang bersangkutan dengan sebelum beramal, ketika beramal dan setelah beramal:

a. Adapun perkara yang dibutuhkan sebelum beramal adalah menunjukkan sikap tawakal kepada Allah dan semata-mata berharap kepada-Nya agar menolong dan meluruskan amalannya. Ibnul Qayyim memaparkan bahwa para ulama telah bersepakat bahwa salah satu indikasi taufik Allah kepada hamba-Nya adalah pertolongan-Nya kepada hamba-Nya. Sebaliknya, salah satu ciri kenistaan seorang hamba adalah kebergantungannya kepada kemampuan diri sendiri.

Menghadirkan rasa tawakal kepada Allah adalah merupakan suatu hal yang paling penting untuk menyongsong musim-musim ibadah semacam ini; untuk menumbuhkan rasa lemah, tidak berdaya dan tidak akan mampu menunaikan ibadah dengan sempurna, melainkan semata dengan taufik dari Allah. Selanjutnya kita juga harus berdoa kepada Allah agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan dan supaya Allah membantu kita dalam beramal di dalamnya. Ini semua merupakan amalan yang paling agung yang dapat mendatangkan taufik Allah dalam menjalani bulan Ramadhan.

Kita amat perlu untuk senantiasa memohon pertolongan Allah ketika akan beramal karena kita adalah manusia yang disifati oleh Allah ta’ala sebagai makhluk yang lemah:

وخلق الإنسان ضعيفا

“Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa: 28)

Jika kita bertawakal kepada Allah dan memohon kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi taufik-Nya pada kita.

b. Di saat mengerjakan amalan ibadah, poin yang perlu diperhatikan seorang hamba adalah: ikhlas dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dua hal inilah yang merupakan dua syarat diterimanya suatu amalan di sisi Allah. Banyak ayat dan hadits yang menegaskan hal ini. Di antaranya: Firman Allah ta’ala,

وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين

“Padahal mereka tidaklah diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu akan tertolak.” (HR. Muslim)

c. Usai beramal, seorang hamba membutuhkan untuk memperbanyak istigfar atas kurang sempurnanya ia dalam beramal, dan juga butuh untuk memperbanyak hamdalah (pujian) kepada Allah Yang telah memberinya taufik sehingga bisa beramal. Apabila seorang hamba bisa mengombinasikan antara hamdalah dan istigfar, maka dengan izin Allah ta’ala, amalan tersebut akan diterima oleh-Nya.

Hal ini perlu diperhatikan betul-betul, karena setan senantiasa mengintai manusia sampai detik akhir setelah selesai amal sekalipun! Makhluk ini mulai menghias-hiasi amalannya sambil membisikkan, “Hai fulan, kau telah berbuat begini dan begitu… Kau telah berpuasa Ramadhan… Kau telah shalat malam di bulan suci… Kau telah menunaikan amalan ini dan itu dengan sempurna…” Dan terus menghias-hiasinya terhadap seluruh amalan yang telah dilakukan sehingga tumbuhlah rasa ‘ujub (sombong dan takjub kepada diri sendiri) yang menghantarkannya ke dalam lembah kehinaan. Juga akan berakibat terkikisnya rasa rendah diri dan rasa tunduk kepada Allah ta’ala.

Seharusnya kita tidak terjebak dalam perangkap ‘ujub; pasalnya, orang yang merasa silau dengan dirinya sendiri (bisa begini dan begitu) serta silau dengan amalannya berarti dia telah menunjukkan kenistaan, kehinaan dan kekurangan diri serta amalannya.

Hati-hati dengan tipu daya setan yang telah bersumpah:

فبما أغويتني لأقعدن لهم صراطك المستقيم. ثم لآتينهم من بين أيديهم ومن خلفهم وعن أيمانهم وعن شمائلهم

“Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka (para manusia) dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka.” (QS. Al-A’raf: 16-17)

Kiat Kedua: Bertaubat Sebelum Ramadhan Tiba

Banyak sekali dalil yang memerintahkan seorang hamba untuk bertaubat, di antaranya: firman Allah ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحاً عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS. At Tahrim: 8)

Kita diperintahkan untuk senantiasa bertaubat, karena tidak ada seorang pun di antara kita yang terbebas dari dosa-dosa. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,

كل بنى آدم خطاء وخير الخطائين التوابون

“Setiap keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan isnadnya oleh Syaikh Salim Al Hilal)

Dosa hanya akan mengasingkan seorang hamba dari taufik Allah, sehingga dia tidak kuasa untuk beramal saleh, ini semua hanya merupakan sebagian kecil dari segudang dampak buruk dosa dan maksiat (lihat Dampak-Dampak dari Maksiat dalam kitab Ad-Daa’ Wa Ad-Dawaa’ karya Ibnul Qayyim, dan Adz-Dzunub Wa Qubhu Aatsaariha ‘Ala Al-Afrad Wa Asy-Syu’ub karya Muhammad bin Ahmad Sayyid Ahmad hal: 42-48). Apabila ternyata hamba mau bertaubat kepada Allah ta’ala, maka prahara itu akan sirna dan Allah akan menganugerahi taufik kepadanya kembali.

Taubat nasuha atau taubat yang sebenar-benarnya hakikatnya adalah: bertaubat kepada Allah dari seluruh jenis dosa. Imam Nawawi menjabarkan: Taubat yang sempurna adalah taubat yang memenuhi empat syarat:

1. Meninggalkan maksiat.
2. Menyesali kemaksiatan yang telah ia perbuat.
3. Bertekad bulat untuk tidak mengulangi maksiat itu selama-lamanya.
4. Seandainya maksiat itu berkaitan dengan hak orang lain, maka dia harus mengembalikan hak itu kepadanya, atau memohon maaf darinya (Lihat: Riyaadhush Shaalihiin, karya Imam an-Nawawi hal: 37-38)

Ada suatu kesalahan yang harus diwaspadai: sebagian orang terkadang betul-betul ingin bertaubat dan bertekad bulat untuk tidak berbuat maksiat, namun hanya di bulan Ramadhan saja, setelah bulan suci ini berlalu dia kembali berbuat maksiat. Sebagaimana taubatnya para artis yang ramai-ramai berjilbab di bulan Ramadhan, namun setelah itu kembali ‘pamer aurat’ sehabis idul fitri.

Ini merupakan suatu bentuk kejahilan. Seharusnya, tekad bulat untuk tidak mengulangi perbuatan dosa dan berlepas diri dari maksiat, harus tetap menyala baik di dalam Ramadhan maupun di bulan-bulan sesudahnya.

Kiat Ketiga: Membentengi Puasa Kita dari Faktor-Faktor yang Mengurangi Keutuhan Pahalanya

Sisi lain yang harus mendapatkan porsi perhatian spesial, bagaimana kita berusaha membentengi puasa kita dari faktor-faktor yang mengurangi keutuhan pahalanya. Seperti menggunjing dan berdusta. Dua penyakit ini berkategori bahaya tinggi, dan sedikit sekali orang yang selamat dari ancamannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan:

من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه

“Barang siapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatannya, maka niscaya Allah tidak akan membutuhkan penahanan dirinya dari makanan dan minuman (tidak membutuhkan puasanya).” (HR. Bukhari)

Jabir bin Abdullah menyampaikan petuahnya:

إذا صمت فليصم سمعك وبصرك ولسانك عن الكذب والمحارم ودع أذى الجار, وليكن عليك وقار وسكينة يوم صومك, ولا تجعل يوم صومك ويوم فطرك سواء

“Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram dan janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama.” (Lathaa’if al-Ma’arif, karya Ibnu Rajab al-Hambali, hal: 292)

Orang yang menahan lisannya dari ghibah dan matanya dari memandang hal-hal yang haram ketika berpuasa Ramadhan tanpa mengiringinya dengan amalan-amalan sunnah, lebih baik daripada orang yang berpuasa plus menghidupkan amalan-amalan sunnah, namun dia tidak berhenti dari dua budaya buruk tadi! Inilah realita mayoritas masyarakat; ketaatan yang bercampur dengan kemaksiatan.

Umar bin Abdul ‘Aziz pernah ditanya tentang arti takwa, “Takwa adalah menjalankan kewajiban dan meninggalkan perbuatan haram”, jawab beliau. Para ulama menegaskan, “Inilah ketakwaan yang sejati. Adapun mencampur adukkan antara ketaatan dan kemaksiatan, maka ini tidak masuk dalam bingkai takwa, meski dibarengi dengan amalan-amalan sunnah.”

Oleh sebab itu para ulama merasa heran terhadap sosok yang menahan diri (berpuasa) dari hal-hal yang mubah, tapi masih tetap gemar terhadap dosa. Ibnu Rajab al-Hambali bertutur, “Kewajiban orang yang berpuasa adalah menahan diri dari hal-hal mubah dan hal-hal yang terlarang. Mengekang diri dari makanan, minuman dan jima’ (hubungan suami istri), ini sebenarnya hanya sekedar menahan diri dari hal-hal mubah yang diperbolehkan. Sementara itu ada hal-hal terlarang yang tidak boleh kita langgar baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya. Di bulan suci ini tentunya larangan tersebut menjadi lebih tegas. Maka sungguh sangat mengherankan kondisi orang yang berpuasa (menahan diri) dari hal-hal yang pada dasarnya diperbolehkan seperti makan dan minum, kemudian dia tidak berpuasa (menahan diri) dan tidak berpaling dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan di sepanjang zaman seperti ghibah, mengadu domba, mencaci, mencela, mengumpat dan lain-lain. Semua ini merontokkan ganjaran puasa.”

-bersambung insya Allah-

***

Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc.
Artikel www.muslim.or.id



Selengkapnya...

JADWAL IMSAKIYAH RAMADHAN 1430H





Selengkapnya...

Minggu, 16 Agustus 2009

AGAR KITA TURUT MERASAKAN INDAHNYA RAMADHAN (2)

Kiat Keempat: Memprioritaskan Amalan yang Wajib

Hendaknya orang yang berpuasa itu memprioritaskan amalan yang wajib. Karena amalan yang paling dicintai oleh Allah ta’ala adalah amalan-amalan yang wajib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam suatu hadits qudsi, bahwa Allah ta’ala berfirman:

وما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضت عليه

“Dan tidaklah seseorang mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada amalan-amalan yang Ku-wajibkan.” (HR. Bukhari)

Di antara aktivitas yang paling wajib dilaksanakan pada bulan Ramadhan adalah: mendirikan shalat berjamaah lima waktu di masjid (bagi kaum pria), berusaha sekuat tenaga untuk tidak ketinggalan takbiratul ihram. Telah diuraikan dalam sebuah hadits:

من صلى لله أربعين يوما في جماعة يدرك التكبيرة الأولى كتب له براءتان: براءة من النار وبراءة من النفاق

“Barang siapa yang shalat karena Allah selama empat puluh hari dengan berjama’ah dan selalu mendapatkan takbiratul ihram imam, akan dituliskan baginya dua ‘jaminan surat kebebasan’ bebas dari api neraka dan dari nifaq.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani)

Seandainya kita termasuk orang-orang yang amalan sunnahnya tidak banyak pada bulan puasa, maka setidaknya kita berusaha untuk memelihara shalat lima waktu dengan baik, dikerjakan secara berjamaah di masjid, serta berusaha sesegera mungkin berangkat ke masjid sebelum tiba waktunya. Sesungguhnya menjaga amalan-amalan yang wajib di bulan Ramadhan adalah suatu bentuk ibadah dan taqarrub yang paling agung kepada Allah.

Sungguh sangat memprihatinkan, tatkala kita dapati orang yang melaksanakan shalat tarawih dengan penuh semangat, bahkan hampir-hampir tidak pernah absen, namun yang disayangkan, ternyata dia tidak menjaga shalat lima waktu dengan berjamaah. Terkadang bahkan tidur, melewatkan shalat wajib dengan dalih sebagai persiapan diri untuk shalat tarawih!!? Ini jelas-jelas merupakan suatu kejahilan dan bentuk peremehan terhadap kewajiban! Sungguh hanya mendirikan shalat lima waktu berjamaah tanpa diiringi dengan shalat tarawih satu malam, lebih baik daripada mengerjakan shalat tarawih atau shalat malam, namun berdampak menyia-nyiakan shalat lima waktu. Bukan berarti kita memandang sebelah mata terhadap shalat tarawih, akan tetapi seharusnya seorang muslim menggabungkan kedua-duanya; memberikan perhatian khusus terhadap amalan-amalan yang wajib seperti shalat lima waktu, lalu baru melangkah menuju amalan-amalan yang sunnah seperti shalat tarawih.

Kiat Kelima: Berusaha untuk Mendapatkan Lailatul Qadar

Setiap muslim di bulan berkah ini berusaha untuk bisa meraih lailatul qadar. Dialah malam diturunkannya Al-Qur’an (QS. Al-Qadar: 1, dan QS. Ad-Dukhan: 3), dialah malam turunnya para malaikat dengan membawa rahmat (QS. Al-Qadar: 4), dialah malam yang berbarakah (QS. Ad-Dukhan: 3), dialah malam yang lebih utama daripada ibadah seribu bulan! (83 tahun plus 4 bulan) (QS. Al-Qadar: 3). Barang siapa yang beribadah pada malam ini dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni oleh-Nya (HR. Bukhari dan Muslim).

Mendengar segunung keutamaan yang dimiliki malam mulia ini, seyogyanya seorang muslim memanfaatkan kesempatan emas ini untuk meraihnya.

Di malam ke berapakah lailatul qadar akan jatuh?

Malam lailatul qadar akan jatuh pada malam-malam sepuluh akhir bulan Ramadhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan:

تحروا ليلة القدر في العشر الأواخر من رمضان

“Carilah lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tepatnya pada malam-malam yang ganjil di antara malam-malam yang sepuluh tersebut, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

تحروا ليلة القدر في الوتر من العشر الأواخر من رمضان

“Carilah lailatul qadar pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)

Tapi di malam manakah di antara malam-malam yang ganjil? Apakah di malam 21, malam 23, malam 25, malam 27 atau malam 29? Pernah di suatu tahun pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lailatul qadar jatuh pada malam 21, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri bahwa di pagi hari tanggal 21 Ramadhan tahun itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إني أريت ليلة القدر

“Sesungguhnya aku diperlihatkan lailatul qadar (malam tadi).” (HR.Bukhari dan Muslim)

Pernah pula di suatu tahun lailatul qadar jatuh pada malam 27. Ubai bin Ka’ab berkata:

والله إني لأعلمها وأكثر علمي هي الليلة التي أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بقيامها هي ليلة سبع وعشرين

“Demi Allah aku mengetahuinya (lailatul qadar), perkiraan saya yang paling kuat dia jatuh pada malam yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk bangun malam di dalamnya, yaitu malam dua puluh tujuh.” (HR. Muslim)

Pada tahun yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabatnya untuk mencari lailatul qadar pada tujuh malam terakhir dari bulan Ramadhan:

فمن كان متحريها فليتحرها في السبع الأواخر

“Barang siapa yang ingin mencarinya (lailatul qadar) hendaklah ia mencarinya pada tujuh malam terakhir (dari bulan Ramadhan).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Cara memadukan antara hadits-hadits tersebut di atas: dengan mengatakan bahwa lailatul qadar setiap tahunnya selalu berpindah-pindah dari satu malam yang ganjil ke malam ganjil lainnya, akan tetapi tidak keluar dari sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan (Lihat Fathul Baari karya Ibnu Hajar, dan Asy-Syarh al-Mumti’ karya Syaikh al-Utsaimin (6/493-495))

Di antara hikmah dirahasiakannya waktu lailatul qadar adalah:
Agar amal ibadah kita lebih banyak. Sebab dengan dirahasiakannya kapan waktu lailatul qadar, kita akan terus memperbanyak shalat, dzikir, doa dan membaca Al-Qur’an di sepanjang malam-malam sepuluh terakhir Ramadhan terutama malam yang ganjil.
Sebagai ujian dari Allah ta’ala, untuk mengetahui siapa di antara para hamba-Nya yang bersungguh-sungguh dalam mencari lailatul qadar dan siapa yang bermalas-malasan serta meremehkannya (Majaalisu Syahri Ramadhaan, karya Syaikh al-’Utsaimin hal: 163)

Maka seharusnya kita berusaha maksimal pada sepuluh hari itu; menyibukkan diri dengan beramal dan beribadah di seluruh malam-malam itu agar kita bisa menggapai pahala yang agung itu. Mungkin saja ada orang yang tidak berusaha mencari lailatul qadar melainkan pada satu malam tertentu saja dalam setiap Ramadhan dengan asumsi bahwa lailatul qadar jatuh pada tanggal ini atau itu, walaupun dia berpuasa Ramadhan selama 40 tahun, barangkali dia tidak akan pernah sama sekali mendapatkan momen emas itu. Selanjutnya penyesalan saja yang ada…

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan teladan:

(كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا دخل العشر شد مئزره وأحيا ليله وأيقظ أهله) متفق عليه

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika memasuki sepuluh (terakhir Ramadhan) beliau mengencangkan ‘ikat pinggangnya’, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kiat Keenam: Jadikan Ramadhan Sebagai Madrasah untuk Melatih Diri Beramal Saleh, yang Terus Dibudayakan Setelah Berlalunya Bulan Suci Ini

Bulan Ramadhan ibarat madrasah keimanan, di dalamnya kita belajar mendidik diri untuk rajin beribadah, dengan harapan setelah kita tamat dari madrasah itu, kebiasaan rajin beribadah akan terus membekas dalam diri kita hingga kita menghadap kepada Yang Maha Kuasa.

Allah ta’ala memerintahkan:

واعبد ربك حتى يأتيك اليقين

“Dan sembahlah Rabbmu sampai ajal datang kepadamu.” (QS. Al-Hijr: 99)

Tatkala al-Hasan al-Bashri membaca ayat ini beliau menjelaskan,

إن الله لم يجعل لعمل المؤمن أجلا دون الموت

“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan batas akhir bagi amal seorang Mukmin melainkan ajalnya.”

Maka jangan sampai amal ibadah kita turut berakhir dengan berakhirnya bulan Ramadhan. Kebiasaan kita untuk berpuasa, shalat lima waktu berjamaah di masjid, shalat malam, memperbanyak membaca Al-Qur’an, doa dan zikir, rajin menghadiri majelis taklim dan gemar bersedekah di bulan Ramadhan, mari terus kita budayakan di luar Ramadhan.

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود الناس, وكان أجود ما يكون في رمضان

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan sekali di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ulama salaf pernah ditanya tentang sebagian orang yang rajin beribadah di bulan Ramadhan, namun jika bulan suci itu berlalu mereka pun meninggalkan ibadah-ibadah tersebut? Dia pun menjawab:

بئس القوم لا يعرفون الله إلا في رمضان

“Alangkah buruknya tingkah mereka, mereka tidak mengenal Allah melainkan hanya di bulan Ramadhan!”

Merupakan ciri utama diterimanya puasa kita di bulan Ramadhan dan tanda terbesar akan keberhasilan kita meraih lailatul qadar adalah: berubahnya diri kita menjadi lebih baik daripada kondisi kita sebelum Ramadhan.

Wallahu ta’ala a’lam wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shabihi ajma’in.

***

Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc.
Artikel www.muslim.or.id


Selengkapnya...

Sabtu, 01 Agustus 2009

Assalamualaikum wr, wb
Satu kebahagian tersendiri bahwasannya Allah SWT masih memberikan beribu-ribu nikmat pada kita umatnya, nikmat Islam, nikmat iman, dan juga nikmat sehat, mari mensyukuri atas nikmat-nikmat ini,
Hadirilah tausiah Agama bersma Ust.KH.Syahruddin dan Ust.Drs.H.M.Jafar

Tausiah Agama
Tanpa kami bermaksud untuk memperpanjang qalam, kami menunggu kehadiran kaum muslimin dan muslimat pada acara tersebut, akhir kata
Wassalamualaikum wr,wb



Selengkapnya...